Selasa, 04 Januari 2011

HUKUM RISYWAH (SUAP)

Alloh berfirman :

1. ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون.
Dan janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan cara yang batil, dan janganlah kalian menyuap dengan harta itu para hakim, dengan maksud agar kalian bisa memakan sebagian harta orang lain tersebut dengan cara dosa, padahal kalian mengetahui.

2. سماعون للكذب أكالون للسحت فإن جاؤوك فاحكم بينهم أو أعرض عنهم وإن تعرض عنهم فلن يضروك شيئا وإن حكمت فاحكم بينهم بالقسط إن الله يحب المقسطين.

Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram, jika mereka (orang yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan diantara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan membahyakanmu sedikitpun, tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Alloh menyukai orang orang yang adil. Al Maidah 42.



3. وترى كثيرا منهم يسارعون في الإثم والعدوان وأكلهم السحت لبئس ما كانوا يعملون. لولا ينهاهم الربانيون والأحبار عن قولهم الإثم وأكلهم السحت لبئس ما كانوا يصنعون.

Dan kamu akan melihat banyak diantara mereka (Yahudi) berlomba dalam berbuat dosa, atau permusuhan dan memakan yang haram. Sungguh sangat buruk apa yang mereka perbuat. Mengapa para ulama dan para pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong, dan memakan yang haram…?? . Sungguh sangat buruk apa yang mereka perbuat. Al maidah 62-63.


Dan dalam hadits :


1. عن أبي هريرة قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي في الحكم. رواه الترمذي. قال الشيخ الألباني : صحيح

Dari Abu Huroiroh –rodhiyallohuanhu-, dia berkata “ Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- melaknat penyuap dan yang disuap dalam hukum". HR. Tirmidy dan Ahmad dan selainnya.

2. عن عبد الله بن عمرو قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي رواه الترمذي. قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح. قال الشيخ الألباني : صحيح

Dari Abdulloh bin Amr –Rodhiyallohu anhu- dia berkata “Rosululloh - shollallohu alaihi wasallam- melaknat penyuap dan yang minta suap”. HR. Tirmidzy, Ahmad Dan selainnya.

Dan dalam bab ini juga diriwayatkan hadits dari beberapa sahabat yaitu “Abdurrohman bin Auf, Tsauban, Hudzaifah, Aisyah, Umu Salamah – Rodhiyallohu anhum –“.

Dari dalil dalil di atas kita bisa mengambil faedah faedah berikut :

a. Haramnya “RISYWAH (suap)” yaitu “memberikan sesuatu baik hadiah atau selainnya, kepada pihak tertentu untuk melegalkan kebatilan atau membatalkan hak dari yang berhak, atau memberikan kepada yang tidak berhak, atau memonopoli hak”.
Dan itu merupakan pola hidup orang orang yahudi, sedangkan orang muslim di wajibkan untuk menyelisihi pola hidup mereka.

b. Orang yang menyuap atau yang menerima suap, keduanya berhak mendapatkan laknat (dilaknat oleh Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- ) yaitu dijauhkan dari rahmat Alloh –na`adzu billahi min dzalik- karena keduanya telah melegalkan kebatilan demi kepentingannya dan bersekutu dan bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.

c. Mendapatkan harta risywah (Suap) adalah penghasilan yang haram, dan itu merupakan prilaku orang orang yahudi yang menghalalkan segala cara, senang memakan harta yang haram, dan mementingkan diri sendiri. Sedang seorang muslim adalah seorang yang dalam mencari rizqi selalu memperhatikan patokan patokan syar`i dan tidaklah dia cari rizqi tersebut kecuali dengan cara yang baik.

Adapun hasil/gaji dari pekerjaan yang halal yang pekerjaan tersebut didapat dengan jalan risywah maka –Allohu a`lam- adalah halal, karena hasil dari pekerjaan tsb tidak terkait langsung dengan risywah sebelumnya. Sebab suap/risywah , tidak mesti memberi pengaruh haram pada pendapatan/gaji dari pekerjaan yang halal. Sebab larangan pada sebuah perbuatan tidaklah memberi konsukuensi larangan atau keharaman serupa pada sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan yang dilarang tersebut. Dikecualikan :
1. Jika larangan tersebut tertuju langsung pada dzat amal atau hasil perbuatan itu sendiri, seperti mendapat harta langsung dari risywah (suap), sebagaimana point c di atas. Sebab larangan langsung tertuju kepada harta risywah tadi. Juga semisal puasanya wanita ketika sedang haid, atau juga puasa pada hari ied. Allohu a`lam
2. Jika larangan tersebut tertuju kepada syarat atau rukun yang menentukan sahnya amalan dimaksud. Semisal berwudhu dengan menggunakan air najis.Dalam hal ini larangan tertuju pada wudhu dengan air najis tersebut, maka wudhu dengan air najis tidak sah, yang berkonsekwensi tidak sahnya sholat karena wudhu merupakan syarat sahnya sholat.

adapun jika larangan tersebut tertuju pada suatu yang diluar dzat amal dan juga syarat atau rukunnya, maka tidak mesti berkonsekwensi rusak atau haramnya dzat amal atau hasil darinya (jika semisal dalam muamalah) Allohu a`lam bishowab.
Misalnya dalam hal ini, larangan ikhtilath pada sebuah pekerjaan tidak berarti pengharaman pada hasil atau pendapatan (gaji) dari pekerjaan tersebut.Larangan ghosob (merampas), tidak berarti shalat dengan mengenakan pakaian dari ghosob tsb, shalat yang dikerjakan tidaklah sah.karena larangan tsb berkait dengan sesuatu yang diluar dzat amal atau syarat amal tsb.
Ini pendapat mayoritas ahli fiqh, kecuali para ulama dari kalangan madzhab hanabilah.

Masalah ini, merupakan contoh dari penerapan kaidah: “APAKAH LARANGAN MENUNTUT RUSAK ATAU HARAMNYA HAL YANG BERKAIT DENGAN NYA” (lihat mandhumah ushul fiqh wa qowaidihi dan juga syarhnya karya syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahululloh-)

d. Masuk dalam hukum dan jenis “RISYWAH (SUAP)” adalah memberi hadiah atau oleh oleh atau apapun namanya kepada pejabat, atau pihak berwenang, untuk meng “GOL” kan hajat dia dan membendung hak orang lain, yang ini biasa dalam dunia perlombaan RISYWAH -tidak sehat alias haram- untuk mendapatkan order dalam proyek proyek basah, dan semisalnya.

Dan diantara realita yang ada sekarang adalah, banyaknya pihak berwenang yang menghalangi hak hak manusia dan memonopoli hal itu, dan hanya akan melicinkan hak tsb bagi mereka yang bisa memberi jumlah banyak yang melebihi lainnya. Intinya siapa yang banyak –buah tangannya- dialah yang mudah mendapatkan hak haknya.

Maka muncul pertanyaan “bagaimana hukum seorang yang memberi hadiah atau sesuatu kepada pihak berwenang tersebut guna memperoleh sebagian hak hak mereka, karena hak tersebut baru bisa diperoleh dengan cara tersebut, kalau tidak maka akan dipersulit atau bahkan tidak diberikan ??”.

Sebagian Ulama kita –semoga Alloh menjaga dan merahmati mereka- memberikan jawaban “ Hal itu boleh dan bukan termasuk risywah (suap), karena risywah dilakukan untuk membatalkan hak atau memberikannya kepada yang tidak berhak, atau melegalkan kebatilan, dan sejenisnya, sedangkan ini bukan untuk itu, tapi untuk menuntut atau mendapatkan haknya, dan tidak diberi atau dipersulit kecuali dengan jalan tersebut”. Allohu A`lam.

Sedang sebagian yang lain dari ulama kita –semoga Alloh menjaga mereka dan merahmatinya_ menyatakan “ Bahwa itu tetap tidak boleh, karena memberikan harta atau hadiah kepada mereka tadi akan membantu mereka dalam kedholiman mereka, dan mereka akan terus menjadikan hal itu kesempatan untuk mengeruk harta manusia dengan cara menghalangi manusia dari memperoleh sebagian hak hak mereka.
Dan juga Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- memerintahkan sahabat anshor untuk bersabar ketika dia kelak menjumpai waktu dimana sifat mementingkan diri sendiri, dan kemungkaran serta monopoli hak telah tersebar dikalangan pejabat atau pihak pihak yang menangani urusan manusia, atau pemimpin yang biasa menukar tugas dan wewenang dengan iming iming dunia.

عن أسيد بن حضير رضي الله عنه: أن رجلا من الأنصار قال يا رسول الله ألا تستعملني كما استعملت فلانا ؟ قال ( ستلقون بعدي أثرة فاصبروا حتى تلقوني على الحوض ) صحيح البخاري
Dari Usaid bin Khudhoir-Rodhiyallohu anhu- bahwa seorang anshor berkata : Ya Rosulalloh, tidakkah engkau jadikan aku pekerja sebagaimana si fulan?, Rosululloh menjawab “Kalian akan menjumpai setelahku sikap mementingkan diri sendiri (monopoli), maka bersabarlah sampai kalian bertemu aku di telaga. HR Bukhory

عن هشام قال سمعت أنس بن مالك رضي الله عنه يقول: قال النبي صلى الله عليه وسلم للأنصار ( إنكم ستلقون بعدي أثرة فاصبروا حتى تلقوني وموعدكم الحوض ) صحيح البخاري
Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- bersabda : “Kalian akan menjumpai setelahku sikap mementingkan diri sendiri (monopoli), maka bersabarlah sampai kalian bertemu aku dan tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah telaga. HR Bukhory
Dalam keadaan seperti itu rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- memerintahkan untuk bersabar dan meminta kepada Alloh bagiannya, dan tidak dianjurkan untuk menyuap pihak berwenang dalam mendapatkan hak haknya yang terdholimi. Allohu a`lam’

Untuk hati hati dan selamatnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Alloh dan menyelamatkan diri dari pola hidup seperti itu, dan bersabar serta bertawakkal kepada Alloh.
Semoga Alloh menolong dan memperbaiki para pemimpin kita dan seluruh kaum muslimin, dan meletakan serta menguatkan sifat amanah pada hati hati mereka. Wallohul musta`an.
Selengkapnya...

Senin, 27 Desember 2010

SIFAT TANGAN KETIKA I`TIDAL DARI RUKUK DAN KETIKA DUDUK DIANTARA DUA SUJUD -SYAIKH MUHAMMAD SA`ID RUSLAN -HAFIDHOHULLOH--(EDISI BAHASA ARAB)


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنامن يهده الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم
أما بعد,فهذا تحقيقٌ وطَرْحٌ علمي لمسألة وضعُ اليدينِ بينَ السجدتينِ, وهو مستلٌ من شرح الشيخ محمد سعيد رسلان - حفظه الله - لصفة الصلاة من الشرح الممتع على زاد المستقنع للشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين - رحمه الله - وإليكم تفريغي للمادة العلمية:

التحقيق في مسألة وضع اليدين بين السجدتين
فقد ذكر الشيخ الشارح محمد بن صالح - رحمه الله تعالى رحمة واسعة - عند قول المصنف - رحمه الله تعالى - في الجلوس ذاكراً بين السجدتين ويقول: رب اغفر لي
قال الشيخ الشارح - رحمه الله تعالى - : لم يذكر المؤلف - رحمه الله - أين يضع اليدين؟ وكيف تكونان؟ مع أنه من الأمر المهم في هذه الجلسة, فلنبينه.
ثم ذكر - رحمه الله - صفتين:
الصفه الأولى: يضع يديه على فخذيه وأطراف أصابعه عند ركبتيه.

أخرج مسلم عن ابن عمر - رضى الله عنهما - أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا جلس في الصلاة وضع كفه اليمنى على فخذه اليمنى وقبض أصابعه كلها.
والشيخ - رحمه الله تعالى - ذكر هذه الصفة وقال يضع يديه على فخذيه وأطراف أصابعه عند ركبتيه.
ثم ذكر الصفة الثانية فقال: يضع اليد اليمنى على الركبة واليد اليسرى يلقمها الركبة كأنه قابض لها.وعند مسلم في صحيحه: ويلقم كفه اليسرى ركبته.
قال الشيخ - رحمه الله تعالى - : وأما كيف تكون اليدان؟ فبالنسبة لليسرى تكون مبسوطة مضمومة الأصابع موجهة إلى القبلة ويكون طرف المرفق عند طرف الفخذ بمعنى لا يفرجها بل يضمها إلى الفخذ, وفي هذا حديث عند أبي داود والنسائي وهو حديث صحيح وكان صلى الله عليه وسلم يضع حد مرفقه الأيمن على فخذه الأيمن, والحد هنا النهاية, هذا بالنسبة لليسرى.
وأما بالنسبة إلى اليمنى فإن السنة تدل على أنه يقبض منها الخنصر والبنصر ويحلق الإبهام مع الوسطى ويرفع السبابة ويحركها عند الدعاء, هكذا جاء فيما رواه الإمام أحمد وكذلك رواه أبو داود والنسائي وابن خزيمه وابن حبان وابن الجارود في المنتقى من حديث وائل بن حجر - رضى الله عنه - بسند قال فيه صاحب الفتح الرباني أنه جيد, وقال فيه المُحشي على زاد المعاد أنه صحيح, وإلى هذا ذهب ابن القيم - رحمه الله تعالى - .
فهذا النص يمكن أن يُدفع ولكن هل هذا النص هو الذى استند إليه الشيخ الشارح في تقرير هذا الأمر بالنسبة لليد اليمنى عند الجلوس بين السجدتين؟ حتى إذا ما قيل إن هذا الحديث ضعيف سقط الإستدلال! هل ذهب إلى هذا الحديث؟
لم يلتفت الشيخ الشارح - رحمه الله تعالى - عند الإستدلال وتقرير هذه السنة كما ذهب إلى ذلك إلى هذا الحديث أصلاً, وسترى ذلك إن شاء الله.

قال: أما الفقهاء فيرون أن اليد اليمنى تكون مبسوطة في الجلسة بين السجدتين كاليد اليسرى. قال: ولكن اتباع السنة أولى.
من أين؟ قال: لم يرد في السنة لا في حديث صحيح ولا ضعيف ولا حسن أن اليد اليمنى تكون مبسوطة على الرجل اليمنى وإنما ورد أنها تقبض, يقبض الخنصر والبنصر ويحلق الإبهام مع الوسطى أو تضم الوسطى أيضاً ويضم إليها الإبهام إذا جلس في الصلاة.
الهيئة الأولى: أنه يقبض الخنصر والبنصر ويحلق الإبهام مع الوسطى, هذا عند مسلم في صحيحه عن علي بن عبد الرحمن المعاوي أنه قال: رآني عبد الله بن عمر وأنا أعبث بالحصى في الصلاة فلما انصرف نهاني فقال: اصنع كما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصنع, فقلت وكيف كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصنع؟ قال: كان إذا جلس في الصلاة وضع كفه اليمنى على فخذه اليمنى وقبض أصابعه كلها وأشار بأصبعه التي تلي الإبهام ووضع كفه اليسرى على فخذه اليسرى.
تأمل هنا في كلام ابن عمر - رضي الله عنهما - : كان إذا جلس في الصلاة.
لأن هذا سيحتاجه الشيخ في الإستدلال, قال: كان إذا جلس في الصلاة, هكذا على العموم من غير تخصيص, إذا جلس في الصلاة.
وأما الهيئة الثانية: أن تضم الوسطى وأن يضم إليها الإبهام إذا جلس في الصلاة, فعند مسلم في صحيحه عن ابن عمر - رضي الله عنهما - : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا قعد في التشهد, في التشهد وضع يده اليسرى على ركبته اليسرى ووضع يده اليمنى على ركبته اليمنى وعقد ثلاثة وخمسين وأشار بالسبابة.
وأيضاً عند مسلم عن ابن عمر - رضي الله عنهما - : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا جلس في الصلاة وضع يديه على ركبتيه ورفع إصبعه اليمنى التي تلي الإبهام فدعى بها ويده اليسرى على ركبته اليسرى باسطها عليها.
وعند مسلم عن عبد الله بن الزبير عن أبيه - رضي الله عنه - قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قعد يدعو - يعني يتشهد - وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بأصبعه السبابة ووضع إبهامه على أصبعه الوسطى ويلقم كفه اليسرى ركبته. قال الشيخ - رحمه الله - : إذا جلس في الصلاة وفي بعض الألفاظ إذا جلس في التشهد. تأمل في دليله حتى إذا ما ورد ما ينقضه نُقض وإذا لم يرد على دليله ناقض يبقى على حاله.
قال - رحمه الله تعالى - : إذا جلس في الصلاة وهذا وارد كما عند مسلم في الصحيح وفي بعض الألفاظ: إذا جلس في التشهد وكلاهما في صحيح مسلم, فنحن إذا أخذنا كلمة: إذا جلس في الصلاة, قلنا هذا عام في جميع الجلسات.
وأما قوله إذا جلس في التشهد في بعض الألفاظ فهذا لا يدل على التخصيص.
الآن الدليل لا علاقة له بحديث يصح أو يُدفع, مضعفاً أو يُحكم عليه حتى بالوضع, ما لنا ولهذا, يعني إذا ورد دليل على أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يحرك إصبعه في الجلسة بين السجدتين ثم دُفع هذا الدليل وحُكم عليه بالوضع, يقال إن هذا الدليل الذي ذكره الشيخ منقوض أيضاً!
هذا الدليل الذي عند الشيخ يحتاج عند النقض إلى أمرين:
إما أن يُدفع بفساد الإستدلال, وهيهات! هذا أولاً.
الأمر الثاني: أن يأتي نص على عكس ما قرره, ولا دليل ولا نص, وكما قال هو - رحمه الله - لم يرد في السنة لا في حديث صحيح ولا ضعيف ولا حسن أن اليد اليمنى تكون مبسوطة على الرجل اليمنى, فأين الدليل؟
وهذا تماماً كالذي مر ذكره عند القيام من الركوع, تضع اليد اليمنى على اليد اليسرى على الصدر.
وفي الإستدلال العقلي الذي لا يُرد: لكل حركة ولكل هيئة في الصلاة وضع لليدين قررته السنة من البداية إلى النهاية.
فلما استدل العلماء - عليهم الرحمة - بأنه إذا قام من الركوع عاد إلى ما كان عليه قبل ذلك, ألحقوا هذا بهذا, ألحقوا هذا القيام بالذي كان قبله.
فإذا قال قائل: بل يرسلهما, نقول له: عليك الدليل, فأين الدليل؟ لأنه ما من حركة من حركات الصلاة إلا ولليدين وضع فيها, فأين وضع اليدين بالإرسال فيما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الموضع بعد القيام من الركوع, أين هو؟ لا شيء, وعليه فهذا الذي معنا من استدلال الشيخ لا علاقة له بأن يكون ابن القيم - رحمة الله عليه - صحح رواية وائل بن حُجر واعتمدها وقال بالتحريك تبعاً لها ثم تبين أنها ضعيفة غير ثابتة لأنها شاذة كما سيأتي في كلام الشيخ ناصر, ما علاقة هذا بما نحن فيه! وهل استدل الشيخ بهذا الحديث الضعيف؟ لم يستدل بهذا الحديث الضعيف حتى يقال إن الحديث لا يثبت ولا تثبت به سنة, ولكن انظر إلى استدلاله - رحمة الله عليه - يقول: لم يرد في السنة في حديث صحيح ولا ضعيف ولا حسن أن اليد اليمنى تكون مبسوطة على الرجل اليمنى إنما ورد أنها تقبض, يقبض الخنصر والبنصر ويحلق الإبهام مع الوسطى أو تضم الوسطى أيضاً ويضم إليها الإبهام إذا جلس في الصلاة, وقد ذكرت الأحاديث بنصوصها وهي عند مسلم في الصحيح, قال: وفي بعض الألفاظ: إذا جلس في الصلاة, عامة. وفي بعض الألفاظ: إذا جلس في التشهد, خاصة. وكلاهما في صحيح مسلم.
فنحن إذا أخذنا كلمة: إذا جلس في الصلاة, قلنا هذا عام في جميع الجلسات, وقوله: إذا جلس في التشهد في بعض الألفاظ لا يدل على التخصيص.
والذي يريد أن يدفع هذا الدليل عليه أن ينقض هذه القاعدة, وعليه أن يقول هذا فاسد يُرد ولا يُعتمد, ولكن أين؟ وكيف!
قال - رحمه الله - : لدينا قاعدة ذكرها الأصوليون وممن كان يذكرها دائماً الشوكاني في نيل الأوطار والشنقيطي في أضواء البيان: أنه إذا ذُكر بعض أفراد العام بحكم يطابق العام فإن ذلك لا يدل على التخصيص وإنما يدل على مزيد عناية واهتمام.
والحكم هنا كالحكم هنا, فأين التخصيص!
إنما التخصيص: أن يُذكر بعض أفراد العام بحكم يخالف العام, فهذا هو التخصيص.
ومثال الأول: وهو أنه إذا ذكر بعض أفراد العام بحكم يطابق العام فإن ذلك لا يدل على التخصيص, فالمثال هو: إذا قلت لك أكرم الطلبة, وهذا عام يشمل كل طالب ثم قلت أكرم فلاناً وهو من الطلبة, فهل يقتضي هذا ألا تكرم سواه؟
لا يدل على التخصيص, وإنما يدل على مزيد عناية من أجلها خصصته بالذكر.

وأما مثال الثاني: وهو أنه إذا ذُكر بعض أفراد العام بحكم يخالف العام فإنه يدل على التخصيص, فهذا المثال إذا قلت لك أكرم الطلبة ثم قلت لا تكرم فلاناً وهو من الطلبة, فهذا تخصيص, لأنني في الأول ذكرت فلاناً بحكم يوافق العام لدخوله في العموم, وهنا ذكرته بحكم يخالف العام, ولهذا يقولون في تعريف الخاص: تخصيص بعض أفراد العام بحكم مخالف أو إخراج بعض أفراد العام من الحكم.
فلابد أن يكون مخالفاً, أما إذا كان موافقاً فإن جمهور الأصوليين كما حكاه صاحب أضواء البيان يرون أنه لا يفيد التخصيص, وهو ظاهر كما في المثال الذي ذُكر.
وعلى هذا فيكون بعض ألفاظ حديث ابن عمر.
هذا استدلاله, فمن أراد أن يدفعه فعليه أن يأتي بواحد من أمرين:
الأمر الأول: أن يأتي بحديث يناقض ما ذهب إليه من نتيجة هذا الإستدلال.
والأمر الثاني: لأنه لا حديث ولا نص كما قال - رحمة الله عليه - لا صحيح ولا ضعيف ولا حسن فيه أنه صلى الله عليه وعلى آله وسلم كان يجعل يده اليمنى مبسوطة على رجله في الجلسة, لا نص مطلقاً.
فإذا ما جاء النص كان قاطعاً للنزاع وقلنا بفساد الإستدلال, فإن لم يوجد النص فمن أراد أن يدفع هذا الكلام فعليه أن يُبطل هذا الإستدلال وأن يدل على فساد هذا الإستدلال.وهيهات, دون ذلك خرط القتاد, لا يُدفع.
المهم قال - رحمه الله - : على هذا فيكون بعض ألفاظ حديث ابن عمر الذي خص القبض بالتشهد لا يقتضي التخصيص من بعض ألفاظه الدالة على العموم.
أما الفقهاء - رحمهم الله - فقالوا في هذه الجلسة يبسط يده اليمنى كما يبسط يده اليسرى. من أين الدليل؟ لا دليل, تماماً كما قالوا يرسل يديه إذا قام من الركوع, فإذا قيل ما الدليل؟ لا دليل, ويقولون عليكم أنتم بالدليل, نقول: سبحان الله! إن الأمر يعود إلى ما كان عليه يعني قبل الركوع وكانت اليد اليمنى على اليد اليسرى قابضة عليها أو مبسوطة على الهيئتين ثم يعود الأمر إلى ما كان عليه إذا قام من الركوع.
فهنا قال الفقهاء: يبسط يده اليمنى كما يبسط يده اليسرى, وبناء على كلام الفقهاء تكون كل جلسة من جلسات الصلاة مخالفة للأخرى من أجل التمييز.
فالجلسة بين السجدتين: افتراش مع كون اليدين مبسوطتين, وفي التشهد الأول: افتراش لكن اليمنى تقبض, وفي التشهد الأخير: تورك, وإن كان يوافق التشهد الأول في قبض اليد.
فهم - رحمهم الله - يجعلون لكل جلسة صفة تميزها عن الجلسات الأخرى.
يعني: أن الفقهاء يجعلون ذلك كذلك بلا دليل ولا نص, ولا قياس حتى معقود.
وأما استدلال الشيخ فهو الذي مر.
فمن أراد أن يفعل هذا مستنداً إلى ما ذهب إليه الشيخ الشارح الشيخ صالح - رحمة الله عليه - فبها وقرة عين ومن قال بأنه يبسط اليد كما يقول الفقهاء - ولا دليل - فالله المستعان.

ولكن لا يوجب ذلك تهاجراً ولا تخاصماً ولا تخالفاً. اهـ

قام بتفريغ المادة:
الفقير إلى ربِ العالمين
أبو عبد الله هيثم فايد
_________ Selengkapnya...

FIQIH DALAM "RUDUD YANG MEMBERI MANFAAT" (ARRODDUL HADIF AN NAFI`)

الرد الهادف النافع

عبدالرحمن بن ندى العتيبي

التمييز بين الخطأ والصواب ومعرفة المحق من المبطل لا يستطيع أي شخص ان يصل اليهما الا بعد عناء ولطلب المعرفة يسأل أهل الاختصاص قال تعالى {فاسْألُوا أهْل الذِّكْرِ ان كُنْتُمْ لا تعْلمُون} [النحل: 43]، ومن مهام العلماء وطلبة العلم بيان الشريعة للناس {واذْ أخذ اللّهُ مِيثاق الّذِين أُوتُوا الْكِتاب لتُبيِّنُنّهُ لِلنّاسِ ولا تكْتُمُونهُ} [آل عمران: ١٨٧]، وقد عمل أهل العلم على صيانة الشريعة من تحريف أهل الأهواء ممن يطلبون المناصب والشهرة على حساب الدين وقد يكون من هؤلاء من يحمل لواء الدعوة، ومنهم أدعياء للعلم الشرعي وليسوا من أهله، ومن سالف الأزمان عندما يخطئ هؤلاء بقصد مع خبث سريرة أو من غير قصد مع حسن نية فان الله عز وجل يسخر من عباده من يرد على المخطئ ويبين للأمة الصواب والحق وهم لا تأخذهم لومة لائم في نصرة الحق والرد على المخطئ كائنا من كان، ولكن الرد يجب ان يكون صوابا هادفا نافعا فيه مقومات الاقناع من قوة الحجة وحسن العرض.
ولنا وقفات مع الردود سنبينها فيما يلي:
-1 {الردود تكشف الحقائق}
عندما يرد أهل العلم على المخطئ فان في ذلك تبصيراً للأمة ويحصل اظهار للحق ان كان ملتبساً على المخطئ بسبب وهمٍ منه أو لقلة علمه أو يكشف المخطئ على حقيقته، فيظهر للجميع ما خفي من أمره فيحذر الناس من منهجه وآرائه فكم من أشخاص كنا نظن أنهم على المنهج الصحيح، وكان هناك من أهل العلم من يقرأ مؤلفاتهم ويدوّن أخطاءهم فلما باشر بالردِّ عليهم انكشف لنا أمرهم، وعلمنا ان منهجهم تشوبه الشوائب وأنهم أقرب الى أهل الفكر والتنظير منهم الى أهل العلم والدليل.
-2 {كل مخطئ ينبغي الرد عليه}
لا أحد من أهل العلم أو غيرهم منزه من ان يُرد عليه، كما قال الامام مالك: كلٌّ يؤخذ من قوله ويُرد الا صاحب هذا القبر، يشير الى قبر النبي صلى الله عليه وسلم فمالكٌ كان يجلس لبذل العلم في المسجد النبوي ولذلك لا نستغرب اذا حصل الرد على من ينعت بامام أو داعية أو غير ذلك، فلا عصمة لغير الأنبياء فيما يبلغون عن ربهم، ومن يرد عليه ان تبين له خطؤه فيجب ألا تأخذه العزة بالاثم، وعليه ان يرجع عن الخطأ ويعمل بالصواب ولا يأذن لأي مغرٍ بأن يحول بينه وبين قبول الحق سواء كان ذلك المغري حرصاً على منصب أو سيادة يخشى زوالها، أو شهرة أو غير ذلك، فان هرقل عظيم الروم عرف الحق عندما عرض عليه الاسلام وقال لأبي سفيان: (ان يكن ما تقول فيه حقا فانه نبي) [رواه البخاري]، ومنع هرقل من الدخول في الاسلام حب المنصب، فانه خشي ان يعزل عن الملك ان أعلن قبول الحق، وعندما جاءه رسولُ رسولِ الله صلى الله عليه وسلم قال للقساوسة: لو أسلمت ماذا تقولون؟ فلما وجد منهم نفرةً قال لهم: انما كنت أختبركم، فصده ذلك عن الحق وكذلك المكابر يمنعه الكبر من الرجوع عما قاله أو كتبه ان ظهر له ان الحق خلافه، كما في الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «الكبر بطر الحق وغمط الناس».
-3 {أن يظهر خطأ المردود عليه}
قبل ان يباشر أحد بالتصدي للرد على الآخرين فلابد ان يكون على علم تام بما قاله أو كتبه المردود عليه فان الراد في سعة حتى يتولى هذا الأمر فان تخطئة الآخرين ليس بالأمر الهين، وقد يكون في رده وقوفاً في وجه الخير ونفع الناس، فيأثم بدل ان يؤجر، فلابد من التأكد من وقوع الخطأ دون احتمال وفي الحديث «الا ان تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان». والشاهد من هذا الحديث هو قوله «عندكم من الله فيه برهان»، فلا بد ان يبرهن من يرد ويعقب على أمور تتعلق بالدين وأحكام الشريعة على ان المردود عليه مخطئ، ويُستدل لذلك بالدليل أو التعليل وعلى هذا فلا يرد أحد الا بعد التأكد من الخطأ وذلك بعد ان يراجع ما قاله أو كتبه الآخر.
-4 {أن يتولى الرد من هو أهلٌ}
الغيرة على الدين مطلوبة فقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يغضب اذا انتهكت محارم الله، وهو من أمر بانكار المنكر في قوله «من رأى منكم منكراً فليغيره بيده، فان لم يستطع فبلسانه، فان لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الايمان».
ومن المنكر ان يتجنى أحدٌ على دين الله بالباطل أو يدعو الى الشرك ويلبس على الناس دينهم مستنداً الى أدلة ليست في محلها أو ان يأتي من يفتي بغير علم فيحلّ ما حرم الله، فكان لزاما ان يتصدى لهؤلاء من تسلح بالعلم الشرعي، وعرف خبايا أهل الأهواء، وكما يُقال (أعط القوس لباريها)، حتى يصبح الرد متيناً نافعاً داحضاً للشبهات، ولنا عبرة فيما حدث لابن عباس مع الخوارج فانهم طرحوا ثلاث شبهات، الأولى: لماذا لم يأذن على بالسبي والغنائم. الثانية: حكم الرجال في دين الله. الثالثة: محا نفسه من أمير المؤمنين، فرد عليهم صاحب العقل المنير والعلم الغزير عبدالله بن عباس فقال: أما قولكم لم يسب، ‎أتسبون أ‎مكم‎ ‎عائشة؟ فان قلتم انها ليست أمكم فقد كفرتم فالله يقول {النّبِيُّ أوْلى بِالْمُؤْمِنِين مِنْ أنْفُسِهِمْ وأزْواجُهُ أُمّهاتُهُمْ}، أما قولكم حكم الرجال فان الله قال {وانْ خِفْتُمْ شِقاق بيْنِهِما فابْعثُوا حكمًا مِنْ أهْلِهِ وحكمًا مِنْ أهْلِها}، فالله لو شاء لحكم فدل على جواز تحكيم الرجال في الخلاف الذي حدث بين الصحابة وأدى الى القتال وأما قولكم محا نفسه من أمير المؤمنين، فان الرسول قال في الحديبية: أكتب هذا ما قاضى عليه محمد رسول الله فلما أنكر وفد قريش محا وكتب محمد بن عبدالله، ولم يمنعه ذلك من الرسالة، فأقنع ابن عباس آلافاً من الخوارج فتراجعوا عن تمردهم على علي.
-5 {الاخلاص وحسن القصد}
قبول الأعمال مبني على الاخلاص، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم «انما الأعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى»، فمن يرد فليخلص النية لله ويكون مقصده نصرة دين الله وبيان الحق للناس وليحذر ان يكون المقصد طلب شهرة أو التقليل من شأن الآخرين وانتقاصهم بالرد عليهم أو ان بينهم حسابات تصفى عن طريق الرد، فلينتبه لذلك وليحرص على الاخلاص فانه سبب لقبول العمل ومدعاة للتوفيق وحصول النفع.
-6 {عدم تحميل الكلام ما لا يحتمل}
قرأت رداً فوجدت ان من قام بالرد يتكلف وينقل قول المردود عليه مبتورا ثم يحمله ما لا يحتمل ثم يلزمه بالزامات لم يقصدها وهذا ينافي الأمانة العلمية وفيه تعد وجور من الراد قال تعالى {ولا يجْرِمنّكُمْ شنآنُ قوْمٍ على ألّا تعْدِلُوا اعْدِلُوا هُو أقْربُ لِلتّقْوى} [المائدة: 8]، فمن في نفسه شيء ويبغض الآخر لا يجيز له ذلك ان يتجنى عليه، فمن وجد خطأ فليرد عليه ولا يضف له أخطاء متوهمة وهذه يقع فيها كثير من صغار طلبة العلم ممن يغلب حماسهم على علمهم ويفتقدون الحكمة فالأولى لهم الرفق والتأني حتى لا يتسرعوا فيندموا.
-7 (حسن الأدب عند الرد)
يروى عن الشافعي قوله: ما جادلت أحداً الا تمنيت ان يظهر الحق على لسانه، فالمراء مذموم الا لنصرة الحق، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أنا زعيم ببيت في ربض الجنة لمن ترك المراء وان كان محقا»، فاذا كان لابد من الرد فيراعى فيه حسن الأدب قال تعالى {وجادِلْهُمْ بِالّتِي هِي أحْسنُ}، وليكن الرد بعيداً عن التجريح ونقد ذات الآخر وينأى به عن الألفاظ النابية، وانما يسلط على الخطأ الذي وقع فيه، فقد تجد من يسفه الآخرين ويرميهم بالجهل والحماقة، ويمكن ان يكون ذلك سبباً للتعنت ورفض الاذعان للحق مع ظهوره، وقد يصل الأمر الى ان القارئ يتعاطف مع المخطئ نظراً لشراسة الراد وحدته وحنقه وحماسه الشديد، وفي بعض الخلاف لا يستدعي الأمر ذلك فالرفق أسلوب الرزين الموفق. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما كان الرفق في شيء الا زانه وما نزع من شيء الا شانه»، فينبغي اختيار الألفاظ المناسبة واظهار الشفقة وتمني الخير للجميع، وهذا حال علمائنا في ردهم على المخطئ، وغالبا تجده يظهر قبول الحق نظراً لحسن الأسلوب قال تعالى: {ادْفعْ بِالّتِي هِي أحْسنُ فاذا الّذِي بيْنك وبيْنهُ عداوةٌ كأنّهُ ولِيٌّ حمِيمٌ (34) وما يُلقّاها الّا الّذِين صبرُوا وما يُلقّاها الّا ذُو حظٍّ عظِيمٍ (35)} [فصلت].
-8 {الرد على الرد أمر لازم ومستحسن}
اذا كان الراد لم يوفق الى الصواب، فالأولى ان يرد عليه حتى لا يفهم أحد ان عدم الرد اقرار بأن ما قاله صواب أو ان دفاعه بالرد دليل على صحة ما يذهب اليه أو مبرر سليم لخطئه، فلا ينبغي ترك الرد ما أمكن الا اذا حال دون ذلك مانع أو ترجحت المصلحة في ترك الرد فله ذلك.
-9 {ليس كل من يرد عليه فهو مخطئ}
يظن بعض الناس ان من يتعقب في مسألة ما ويرد عليه، ان في ذلك ادانة له بالخطأ وهذا غير صحيح، فليس كل من يرد مصيباً محقاً فقد يكون جاهلاً أوصاحب هوى أراد اثارة بلبلة، وعند حسن الظن فربما أنه لم يفهم صاحبه فتعجل بالرد، وقد يكون صاحب بدعة ينصر بدعته فيرد على من يحذر من البدع.فالذي نريد ان نقرره أنه ليس كل مردود عليه مخطئا ولكن يجب النظر في أدلة الفريقين، وسؤال أهل العلم الذين يستطيعون الترجيح بين الآراء، ولا ننسى حال الشخص من حيث الديانة والمكانة العلمية وانتماؤه الحزبي، وهل هو من أهل السنة أومن أهل البدع والأهواء؟ وكل ذلك يساعد على معرفة الحق، فان كان من أهل الرذيلة فليس بمستغرب رده على أهل الفضيلة وعلى ذلك فقس.-10 {الردود ظاهرة صحية}
‏-10 {الردود ظاهرة صحية}
من أسباب الانحلال وظهور الفساد ورواج البدع والميل للغلو والتطرف ترك من يدعو لذلك وعدم الرد عليه، فلا ينبغي تركهم وشأنهم وانما يرد عليهم حتى يكونوا على بصيرة من الحق ويحدث تنبيه لهم أنهم على خطأ وأن مسلكهم خطر عليهم وعلى من حولهم ولربما لو اطلعوا على تلك الردود تغيرت قناعاتهم وصلحت أحوالهم فيتوب الاباحي المفسد، ويترك المبتدع بدعته، ويتجنب الغلاة التنطع وأذية الناس، ويرجع المخطئ الى دائرة الصواب فيصحح مساره.
فالردود ظاهرة صحية ولها فوائد عظيمة، فهي تكشف المكانة العلمية للشخص وتعري أدعياء الباطل فيظهر انحرافهم ويحذر منهم، ولكن ينبغي مراعاة المصلحة عند الرغبة في الرد فيلاحظ حجم الخطأ وهل يستحق ردا، لأنه قد يحصل بالرد زعزعة الثقة وتشويش على الغير دون قصد لذلك، وينظر هل المصلحة في الرد على حدة أو ان الرد يكون على الملأ، فالردود فيها نفع عام متعد، ولا يفهم منها أنها تناحر بين الدعاة، ولكن فيها تنوير للآخرين واثراء للفكر ونصرة للحق وتبصير للمخطئ، وفيها حراك علمي اذا حسن المقصد وكان الهدف معرفة الحق والعمل به.
نسأل الله ان يبصرنا بالحق ويرزقنا اتباعه، وأن يرينا الباطل باطلا ويرزقنا اجتنابه وأن يجمع شمل الأمة على الحق ويجنبهم الشقاق والخلاف ويوفق الجميع لما يحبه ويرضا
__________________
مجموع مقالات فضيلة الشيخ
عبد العزيز بن ندى حفظه الله
في منتدى كل السلفيين[متجدد] Selengkapnya...

Sabtu, 01 Mei 2010

AQIQOH DAN NAFKAH ANAK ZINA

As Syaikh Al Alaamah Abdul aziz Ibn Baz –Rahimahulloh Ta`ala- pernah ditanya “Apakah disyari`atkan seorang wanita untuk mengaqiqohi anaknya dari zina dan apakah wajib untuk menafkahinya”…???


Beliau menjawab “Ya, dia aqiqohi, disunahkan atasnya untuk mengaqiqohi anaknya dari zina, dan wajib untuk memberikan kepadanya nafkah jika dia mempunyai kemampuan untuk itu. Dan jika tidak mampu, maka dia mencari pengasuh di negerinya dan dia serahkan pada mereka. Dan juga –jika dia mampu- hendaklah dia mendidik anaknya tersebut dan berbuat baik terhadapnya, serta dia aqiqohi. Dan seharusnya dia mendidiknya dan juga dia harus bertaubat dari perbuatan (zinanya). Anak tersebut dinasabkan kepadanya (bukan kepada laki laki yang menzinainya -pent). Wajib atas laki laki yang menzinainya untuk bertaubat dari perbuatannya tersebut, dan dia tidak punya kewajiban memberi nafkah kepada anak zinanya, karena anak itu bukan anaknya. Itu anak zina. Wajib laki laki tersebut bertaubat. Tapi anak milik wanita tadi dan dinasabkan kepadanya. Dan dia yang wajib menanggung nafkah nya”. (Majmu` Fatawa wa Maqolaat mutanawwi`ah, jilid 28, syaikh Ibn Baz).

Wa nas`alullohal `afiyah.
Selengkapnya...

Minggu, 25 April 2010

SILSILAH AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA`AH

2. KUFUR ASGHOR (KECIL).

Yaitu maksiat atau dosa yang datang dalam syar`i dengan nama kufur tapi tidak sampai kepada tingkatan kufur akbar, dan masih tetap sebutan iman bagi pelakunya.
Hal ini semisal kufur nikmat yang Alloh sebutkan dalam al qur`an :

وضرب الله مثلا قرية كانت آمنة مطمئنة يأتيها رزقها رغدا من كل مكان فكفرت بأنعم الله فأذاقها الله لباس الجوع والخوف بما كانوا يصنعون. النحل 112


Dan Alloh telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizki datang padanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat nikmat Alloh, karena itu Alloh menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang mereka perbuat.
Dan juga semisal yang datang dengan hadits :
عن جرير أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :لا ترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض .صحيح البخاري [ جزء 1 - صفحة 56 ] و مسلم في الإيمان

Dari Jarir, bahwa Nabi –shollallohu alaihi wasallam- bersabda “ janganlah kalian berbalik setelahku menjadi (seperti) orang orang kafir, sebagian kalian membunuh sebagian yang lain.
عبد الله: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : سباب المسلم فسوق وقتاله كفر .
صحيح البخاري [ جزء 1 - صفحة 27 ] و مسلم في الإيمان
Dari Abdulloh bin Umar, bahwa Nabi –shollallohu alaihi wasallam- berkata “ mencela orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kakufuran.

Dalam hadits ini rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- memutlakan bahwa memerangi orang muslim, sebagian mereka atas sebagian yang lain adalah kekufuran, dan beliau menamai pelakunya sebagai kufar (orang orang kafir). Bersama adanya firman Alloh ta`ala :

وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين . إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم واتقوا الله لعلكم ترحمون.
Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat dholim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat dholim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Alloh. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Alloh), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh Alloh mencintai orang orang yang berbuat adil. Sesungguhnya orang orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Alloh agar kamu mendapat rahmat.

Dalam ayat ini Alloh masih menetapkan iman dan persaudaraan serta tidak meniadakan dari mereka hal itu sedikitpun. Padahal perbuatan yang diterangkan dalam ayat ini dinamakan oleh Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- dengan kekafiran dan pelakunya dengan kufar. Hal ini menunjukan bahwa yang dimaksud dalam hadits nabi –shollallohu alaihi wasallam- di atas adalah kufur asghor (kecil) yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari islam.

Dan juga sebagaimana dalam ayat Alloh :

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان ذلك تخفيف من ربكم ورحمة فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب أليم. البقرة 178
Wahai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kalian melaksanakan qisosh berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik. Yang demikian itu keringanan dan rahmat dari Tuhan kalian, barangsiapa yang melampaui batas setelah itu maka dia akan mendapatkan azab yang sangat pedih.

Yang dimaksud “saudaranya” dalam ayat ini adalah saudara se-agama. Berarti si pembunuh masih Alloh ta`ala hukumi sebagai saudara dari yang dibunuh. Jadi dia dengan perbuatannya yaitu membunuh seorang muslim, yang perbuatan tersebut dalam hadits rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- dinamai kufur dan pelakunya disebut kufar, masih Alloh tetapkan sebagai saudara se-agama dari yang terbunuh. Hal ini memberi faedah bahwa kufur yang dimaksud dalam hadits adalah kufur asghor (kecil) yang belum sampai mengeluarkan pelakunya dari islam, bersama bahayanya dosa dan maksiat yang dikerjakan, dan ancaman keras bagi pelakunya, semisal dalam ayat Alloh :

ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذابا عظيما. النساء 93

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahannam, dia kekal di dalamnya. Alloh murka kepadanya dan melaknatnya dan menyediakan untuknya adzab yang besar.

ISTILAH KUFUR ASGHOR ADALAH KUFUR AMAL.

Ketahuilah ayyuhal ikhwah al muslimun…!!!, sebagian ulama kita ada yang menyebut KUFUR ASGHOR dengan sebutan KUFUR AMAL, semisal syaikh Sholih Ibnu Fauzan Ibn Abdulloh Al Fauzan –hafidhohulloh- dalam “aqidatut tauhid” ketika beliau memberikan definisi kufrul asghor, beliau berkata “jenis kedua adalah kufrul asghor (kecil), yang tidak mengeluarkan pelakunya dari millah (islam), dan dia adalah KUFRUL AMALY…..”. (lihat hal 82). Dan juga dalam kitab “Mas`alatul iman dirosah ta`shiliyah”, karya Syaikh Doktor Ali Syubal, pengantar Syaikh Sholeh Al Fauzan, Syaikh Ibnu Mani` dan Syaikh Al Ghunaiman –hafidhohumulloh- penulis menyatakan tentang bentuk bentuk kufur kecil “Pelakunya terperosok pada kufur asghor (kecil), dan itu adalah KUFUR AMALY yang tidak mengeluarkan pelakunya dari millah (islam). (dinukil dari at tabsyir syaikh Ali Ibn Hasan, hal 59).
Maka menyamakan kufrul asghor (kufur kecil) dengan al kufrul amaly secara mutlak seperti itu, apalagi muncul dari para ulama ahlussunnah wal jama`ah, maka perlu kepada patokan yang benar dalam memahaminya, agar tidak ditelan mentah begitu saja lalu difahami dengan pemahaman yang menyimpang dari manhaj ahlussunnah wal jama`ah, bahwa setiap kekafiran yang berupa amal perbuatan maka berarti kufur kecil yang tidak mengeluarkan pelakunya dari millah, dan tidak ada kufrul akbar (besar) yang berbentuk kufrul amal. Ini sangat keliru, bahkan merupakan pemahaman murji-ah yang buruk dan sesat yang memisahkan amal dari iman.

Jadi dalam hal ini dan semisalnya perlu adanya “penetapan istilah bagi sesuatu”, sehingga menjadi jelas patokan dan maksudnya.
Berkata Syaikhul Islam “Apa yang berselisih tentangnya generasi yang akhir dalam meniadakan atau menetapkan, maka tidak ada kewajiban bahkan tidak pula bagi seorangpun untuk mensepakati seseorang dalam menetapkan atau meniadakan lafadznya (yang dia ucapkan) sehingga dia tahu dan mengenali maksudnya. Jika maksud si pemilik lafadz adalah haq (benar) maka diterima, dan jika maksudnya batil, maka ditolak, dan jika ucapan (lafadz)nya mengandung kemungkinan benar dan batil, maka tidak diterima secara mutlak juga tidak ditolak seluruh maknanya, tapi didiamkan lafadz dia tersebut, dan dicari penafsiran maknanya”.
Suatu misal … ayuhal ikhwah, dua orang berselisih tentang hukum KB, yang satu menyatakan boleh selama tidak untuk memutus atau membatasi keturunan, hanya semisal untuk mengatur jarak kelahiran. Nah .. di sini bila istilah KB itu sudah menjadi suatu istilah tertentu dengan maksud dan makna yang maklum, maka akan jelas dalam membicarakan hukumnya, yang tentunya berbeda dengan istilah “menkonsumsi -misal- pil pencegah kehamilan”. Karena KB adalah keluarga berencana, dengan dua anak cukup, bahkan begitu kampanyenya dan lambang yang dipampang dimana mana, yang kadang ada penekanan untuk menghentikan ketururnan, tidak boleh lebih dari dua.
Juga semisal Demokrasi, yang sebagian orang mengislamisasikannya dengan menyebut Demokrasi Islam, bahkan mengidentikan dengan musyawarah yang disyari`atkan dalam islam. Ini jelas pemaksaan terhadap makna Demokrasi, yang Demokrasi sendiri tidak mau dimaknai seperti itu. Karena dia sudah menjadi lafadz atau istilah dengan maknanya. Maka perlu memahami maksud dan makna suatu lafadz atau istilah dengan benar dan baik, agar kita tidak salah dalam menasabkan sesuatu. Wallohu a`lam.

Kembali kepada pembahasan kita, yaitu istilah kufur kecil dengan kufur amal, yang kadang diungkapkan oleh sebagian ulama kita, maka perlu kita fahami bahwa bukan maksud mereka meniadakan kufur akbar yang berbentuk amal atau bahwa amal perbuatan dengan seluruh jenisnya tidaklah di kafirkan pelakunya, sama sekali bukan seperti maksud mereka –hafidhohumulloh-. Bahkan kufur akbar menurut mereka –sebagaimana pemahaman yang benar- bisa disebabkan oleh ucapan, amal perbuatan dan juga i`tiqod. Dan ini merupakan sebab sebab kekafiran sebagaimana telah maklum dikalangan para ulama kita.
Berkata As syaikh Al Allaamah Hafidz Ibnu Ahmad Al Hakamy “Kami (Ahlussunnah) tidaklah mendefinisikan Al Kufrul Asghor (kufur kecil) dengan Al Kufrul Amaly (kufrul amal) secara mutlak, tapi yang dimaksud adalah amal yang hanya sebatas amal dhohir, yang tidak sampai menyentuh i`tiqod, dan tidak membatalkan ucapan dan amalan hati”. (A`lamussunnah Al Mansyuroh, hal 94).
Maka hal yang masih samar dari ucapan sebagian ulama, kita wajib membawa kepada penjelasannya, dan yang masih global kita bawa kepada perinciannya.
Jadi maksud kufur amal yang sampai kepada kufur akbar, adalah ucapan atau perbuatan yang bertabrakan dengan asal keimanan, sehingga hilanglah keimanan dari pelakunya, semisal mencela Alloh dan Rosul-Nya, menginjak injak Al Qur`an atau membuangnya ke sampah. Dan ingat tidak disyaratkan disini istihlalul qolby (i`tiqod akan bolehnya ucapan atau perbuatan tersebut), tapi dengan sekedar perbuatannya yang seperti itu, pelakunya telah terjatuh kedalam kufur akbar, sebab perbuatan itu sendiri telah bertabrakan secara total dengan asal iman yang ada dalam batinya. Maka kita katakan –sebagaimana dalam i`tiqod Ahlussunnah- bahwa amalan kufur seperti diatas, adalah kekafiran yang dikafirkan pelakunya, karena amal tersebut menunjukan akan kekufuran pada batin pelakunya.
Maka ahlussunnah wal jama`ah tidak mengkafirkan pelaku dosa dosa besar dari kalangan kaum muslimin. Tapi mereka (pelaku maksiat) berhak untuk mendapatkan azab Alloh ta`ala, jika Alloh tidak mengampuni dosa mereka dan berkehendak mengazabnya. Hanya saja mereka tidak kekal dalam azab tersebut, bahkan akan dikeluarkan dari azab dan dimasukan kedalam surga -dengan fadhilah dan rahmat Alloh ta`ala- karena keimanan yang masih ada dalam diri mereka.
Semoga Alloh menambah keimanan kita dengan memberi taufiq kepada kita untuk selalu melakukan ketaatan kepada-Nya, dan menjauhkan kita sejauh jauhnya dari hal hal yang melemahkan dan mengurangi keimanan kita apalagi yang membatalkannya.
Wal hamdulillahi bini`matihi tatimmusshoolihah.
Selengkapnya...

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template